Budaya dan BahasaKetika berbicara mengenai budaya, kita harus mau
membuka pikiran untuk menerima banyak hal baru. Budaya bersifat
kompleks, luas, dan abstrak. Budaya tidak terbatas pada seni yang sering
kali dilihat dalam gedung kesenian atau tempat bersejarah, seperti
museum. Tetapi, budaya merupakan suatu pola hidup menyeluruh. Budaya
memunyai banyak aspek yang turut menentukan perilaku komunikatif.
Beberapa orang bisa mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan
orang dari budaya lain. Hal ini dikarenakan budaya memunyai
keistimewaannya sendiri. Budaya masyarakat satu berbeda dengan budaya
masyarakat yang lainnya, sehingga seseorang harus bisa menyesuaikan
perbedaan-perbedaannya. Kebudayaan memengaruhi tingkat pengetahuan dan
meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia,
sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.Ada banyak unsur yang membentuk budaya, termasuk
bahasa, adat istiadat, sistem agama dan politik, perkakas, pakaian, dan
karya seni. Bahasa merupakan perwujudan budaya yang digunakan manusia
untuk saling berkomunikasi, baik melalui tulisan, lisan, ataupun
gerakan. Sebagai perwujudan budaya, bahasa dapat berperan dalam dua hal:Sebagai alat untuk berekspresi, berkomunikasi, mengadakan integrasi, dan adaptasi sosial.Sebagai alat untuk mengadakan hubungan dalam
pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni (sastra), mempelajari
naskah-naskah kuno, dan mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi.Pengaruh Budaya Terhadap SastraBahasa tidak hanya memunyai hubungan dengan budaya,
tetapi juga sastra. Bahasa memunyai peranan yang penting dalam sastra
karena bahasa punya andil besar dalam mewujudkan ide/keinginan
penulisnya. Banyak hal yang bisa tertuang dalam sebuah sastra, baik itu
puisi, novel, roman, bahkan drama. Setiap penulis karya sastra hidup
dalam zaman yang berbeda, dan perbedaan zaman inilah yang turut ambil
bagian dalam menentukan warna karya sastra mereka. Oleh karena itu, ada
beberapa periode dalam penulisan karya sastra, seperti Balai Pustaka,
Pujangga Baru, Angkatan 45, Angkatan 66, dan sebagainya. Setiap periode
"mengangkat" latar belakang yang berbeda-beda sesuai zaman dan budaya
saat itu.Sebagai contoh, kesusastraan Indonesia. Kesusastraan
Indonesia menjadi potret sosial budaya masyarakat Indonesia. Tidak
jarang, kesusastraan Indonesia mencerminkan perjalanan sejarah
Indonesia, "kegelisahan" kultural, dan manifestasi pemikiran Bangsa
Indonesia. Misalnya, kesusatraan zaman Balai Pustaka (1920 -- 1933).
Karya-karya sastra pada zaman itu menunjukkan problem kultural ketika
Bangsa Indonesia dihadapkan pada budaya Barat. Karya sastra tersebut
memunculkan tokoh-tokoh (fiksi) yang mewakili golongan tua (tradisional)
dan golongan muda (modern). Selain itu, ada budaya "lama", seperti
masalah adat perkawinan dan kedudukan perempuan yang mendominasi novel
Indonesia pada zaman Balai Pustaka. Sekarang ini, novel Indonesia
cenderung menyajikan konflik cinta, sains, kekeluargaan, dll..Bagaimana pendapat Anda mengenai puisi zaman
sekarang? Tentu saja ada perbedaan yang sangat kentara, baik dalam topik
yang "diangkat" maupun bahasa yang digunakan. Sebagai contoh, kumpulan
puisi Mbeling karya Remy Sylado, tahun 2005. Sebagian besar puisi
Mbeling yang ia tulis mengangkat kehidupan politik pada saat itu,
seperti korupsi, koruptor, individualisme, dll.. Secara penulisan,
beberapa puisi karya Remy Sylado hanya terdiri 1 -- 2 kata saja dan
disusun dengan tipografi yang unik. Misal, puisi berjudul
"Individualisme dalam Kolektivisme". Puisi ini hanya terdiri dari kata
"kita" dan "aku". Kedua kata ini disusun dengan pola membentuk persegi
panjang, dengan kata "AKU" (kapital) pada titik diagonalnya. Jika
dibandingkan dengan puisi pada zaman Muhammad Yamin, tentu mengalami
perbedaan. Meskipun mengangkat tema yang sama, misalnya politik, tetapi
konten penyajian puisi sangatlah berbeda. Puisi Muhammad Yamin lebih
mengangkat sisi perumusan konsep kebangsaan, meskipun saat itu masih
dalam lingkup Sumatera. Jelas sangat berbeda dengan puisi Remy Sylado,
yang lebih condong menyajikan sisi kehidupan politik sebuah bangsa
berkembang dengan kondisi pemerintahan yang kurang baik.Perbedaan karya sastra setiap periode bukanlah
semata-mata karena ide/gagasan dari penulisnya. Perbedaan ini
dipengaruhi oleh kondisi sosial, politik, dan budaya yang terjadi pada
saat itu. Bahkan, jika kita mau merunut karya sastra dari awal sampai
sekarang, dan meneliti lebih dalam mengenai latar belakang ideologi saat
itu, kita bisa mendapati bagaimana proses perjalanan Bangsa Indonesia.
Meskipun karya sastra di Indonesia bisa dibilang hampir pada posisi
"tengah" -- tidak terlalu menonjol dan tidak terpuruk, namun perlu
disadari bahwa budaya barat sedikit demi sedikit, dari waktu ke waktu,
turut memengaruhi karya sastra Indonesia.Pernahkah Anda mendengar karya sastra Indonesia
modern? Gaya sastra asing (barat) dan pengaruh bentuk menjadi patokan
untuk menyebut sastra Indonesia yang modern. Pada kenyataannya, ketika
pengarang hidup dalam budayanya, ia mencoba untuk menerima tradisi
estetis (gaya barat) dengan budayanya. Penerimaan tradisi estetis
tersebut dituangkan dalam karyanya, dijadikan latar/setting pada
tulisannya, sekadar memberi warna dalam proses kreatif yang ia lakukan.
Akibatnya, sastra lama hanya akan menjadi sebuah artefak. Para peneliti
sastra pun menjadi asing dengan tradisi yang dimiliki oleh sejarah
panjang sastra di Indonesia, melalui karya-karya sastra yang ada.Budaya dan sastra memunyai ketergantungan satu sama
lain. Sastra sangat dipengaruhi oleh budaya, sehingga segala hal yang
terdapat dalam kebudayaan akan tercermin di dalam sastra. Masinambouw
mengatakan bahwa sastra (bahasa) dan kebudayaan merupakan dua sistem
yang melekat pada manusia. Jika kebudayaan adalah sistem yang mengatur
interaksi manusia di dalam masyarakat, bahasa (sastra) adalah suatu
sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya suatu interaksi.
Ketika kita
membicarakan pengaruh kesusastraan asing dalam kesusasteraan Indonesia,
kita harus melihat vista sastra Indonesia dari masa lalu hingga masa
kini. Sebagai langkah awal, kita dapat melayangkan pandangan jauh ke
belakang, ke masa Hamzah Fansuri mula bersyair dan bernazam atau ke
zaman Nuruddin Ar-Raniry ketika melahirkan Bustanul Sallatin (Taman Raja-Raja) dan ketika Raja Ali Haji melahirkan Bustanul Katibin (Taman Para Penulis).
Hasil kesusastraan di zaman itu lebih sering disebut oleh sarjana
sastra Indonesia-Melayu sebagai bagian dari sastra lama Indonesia dan
dilanjutkan dengan sastra baru (modern) Indonesia yang dimulai sejak
munculnya percetakan di Hindia Belanda dan diramaikan oleh kelompok
Pujangga Baru. Meskipun demikian, patut diketahui bahwa sastra baru
Indonesia pun sudah dipelopori oleh penulis Tionghoa peranakan yang mula
pertama memperkenalkan cerpen dalam kesusastraan Indonesia modern. Karya sastra Indonesia (Nusantara) lama itu
sudah dimulai sejak abad ke-16 pada zaman Hamzah Fansuri, Nuruddin
Ar-Raniry, dan Syamsuddin Al-Sumatrani hingga periode para wali di Jawa
yang banyak menghasilkan suluk sebagai pengaruh budaya Islam. Namun, di
Jawa jauh sebelum Islam masuk pun sudah memiliki karya sastra kakawin
yang mendapat pengaruh dari India. Kesusastraan asing yang paling
berpengaruh dalam kesusastraan Indonesia lama adalah kesusastraan Arab
dan Parsi (Persia). Jejaknya itu dapat kita baca pada naskah lama yang
ditulis dalam aksara Arab Melayu dan tersebar luas hingga ke seluruh
wilayah Nusantara. Karya sastra dari Arab dan Parsi itu banyak
diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu serta meninggalkan bentuk hikayat,
syair, gazal, rubai, gurindam, masnawi, dan barzanzi dalam khazanah
sastra Indonesia lama. Sesudah berlalunya tradisi pernaskahan di
Indonesia, pengarang Indonesia modern, yang dimulai oleh penulis Cina
Peranakan, masih menulis syair dan pantun dalam karya cetak. Pada tahun
1912, misalnya, sudah mulai ditemukan cerita pendek yang awal dalam
buku cerita Warna Sari yang terbit di Surabaya. Cerita pendek
yang dimuat itu berjudul “Si Marinem” karya H.F.R. Kommer dan ditulis
dalam ragam bahasa Melayu rendah (Sastri, 2012).
Pada masa Angkatan Pujangga Baru perkenalan
para penulis dan pembaca karya sastra dengan karya sastra Eropa,
khususnya Belanda, semakin mudah diperoleh, baik melalui buku pelajaran
di sekolah maupun melalui karya saduran. Jika sebelumnya karya sastra
asing, seperti Arab dan Parsi, diperoleh melalui hubungan perdagangan,
karya sastra Eropa diperoleh melalui dunia pendidikan pada masa Hindia-
Belanda.
Pada zaman Jepang, pengaruh kesusastraan
asing, seperti Jepang, tidak terlalu banyak berarti dalam kesusastraan
Indonesia. Hal itu disebabkan singkatnya masa pendudukan Jepang dan
tidak adanya upaya penerjemahan karya sastra Jepang ke dalam bahasa
Indonesia pada saat itu. Penerjemahan karya sastra Jepang ke dalam
bahasa Indonesia dimulai pada tahun 1972 ketika Anas Ma’ruf
menerjemahkan novel Yukiguni karya Yasunari Kawabata ke dalam versi Indonesia dengan judul Negeri Salju (Pustaka Jaya, 1972).
Sesudah kemerdekaan, sekitar tahun 1960-an,
pengaruh kesusastraan asing dalam karya sastra Indonesia lebih
disebabkan pengaruh ideologi, seperti komunisme dari Uni Soviet. Hal itu
dapat kita temukan pada karya para penulis Lekra (Lembaga Kebudayaan
Rakyat) yang banyak menerjemahkan karya sastra Rusia yang beraliran
kiri.
2. Jejak Kesusastraan Parsi dan India dalam Kesusastraan Indonesia Lama
Boleh dikatakan bahwa karya Hamzah Fansuri yang sangat terkenal, yakni Hikayat Burung Pingai, ditengarai oleh beberapa ahli mendapat pengaruh dari karya sastra Parsi yang berjudul Manttiq at-Tayr (Percakapan Burung-Burung).
Karya Hamzah Fansuri yang lain, sebagaimana yang dicatat oleh Al-Attas
(1970), memperlihatkan pengaruh puisi sufi dari Parsi. Di antara karya
Hamzah yang terpenting itu adalah Syarab al-Asyiqin (Anggur
Orang-Orang Pengasih), Asrar al-Arifin (Rahasia Orang-Orang Arif), dan
Al-Muntahi (Sang Ahli Ma’rifat). Karya yang terakhir itu merupakan
kutipan dari lusinan penyair Parsi yang ternama, seperti Attar, Rumi,
Iraqi, Shabistari, Shah Ni’matullah, dan Maghribi.
Persinggungan negeri di bawah angin (istilah
yang ditemukan di naskah Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu
untuk menyebut wilayah Asia Tenggara dari Sumatra Utara sampai dengan
Maluku) dengan pedagang Arab dan Parsi pada masa lampau yang berdagang
hingga ke Pansur memungkinkan juga dibawanya karya sastra Arab dan Parsi
ke wilayah Nusantara sehingga kita dapat pula melihat jejak
kesusastraan Parsi itu pada puluhan karya sastra Indonesia lama lainnya.
Braginsky (2009: 59--102) mencatat di antara karya Parsi yang sangat
dikenal di Indonesia, antara lain, Hikayat-i Muhammad-i Hanafiyah, Qis-sai Amir Hamzah, Hikayat Indraputra, Hikayat Isma Yatim, dan Hikayat Nur Muhammad. Sebelumnya, Djamaris (1983) menjelaskan pula bahwa Hikayat Nur Muhammad ditengarai terpengaruh salah satu bab kitab Rauzat al-Ahbab (Taman Sorga Para Pengasih) karya Attaullah ibn Fazlullah dari Parsi. Selain itu, kita juga mengenal cerita berbingkai, seperti Hikayat Kalilah dan Dimnah (Kalila wa Dimna) dan Hikayat Bayan Budiman (Tuti-namah) yang semuanya berasal dari Parsi.
Pengaruh kesusastraan India terhadap karya sastra Indonesia dapat kita temukan pada karya sastra Hikayat Seri Rama, Ramayana, Mahabarata, Hikayat Panji, Hikayat Cekel Weneng Pati, Barathayudha, dan Kakawin Arjunawiwaha. Bahkan, dalam tradisi pewayangan Jawa, kisah Mahabharata dan Ramayana
sudah diadaptasi menjadi karya sastra Jawa dan merupakan kisah
pewayangan yang sudah dianggap sebagai kebudayaan adiluhung dan menjadi
bagian dari sistem nilai orang Jawa.
3. Jejak Kesusastraan Eropa dalam Kesusastraan Indonesia Modern
Ketika percetakan mulai masuk ke Hindia Belanda,
kesusastraan asing semakin mudah diakses oleh kaum terpelajar bumiputra.
Kehadiran buku sastra dunia ditemukan dengan mudah dan menjadi bahan
bacaan yang disampaikan di sekolah Belanda pada masa lalu. Sebelum
periode Balai Pustaka, kita telah mengenal sebuah karya yang fenomenal
dari Multatuli yang berjudul Max Havelaar (1860). Sastrowardojo
(1989: 138) menyebutkan bahwa karya Multatuli itu pernah diakui
mendapatkan ilham dan pengaruh setelah membaca Pondok Paman Tom (Uncles’s Tom Cabin, 1852)
karya Harriet Beecher Stowe. Penerjemahan cerita pendek Eropa dalam
surat kabar awal di Hindia Belanda, baik yang dilakukan oleh penulis
Indo-Eropa maupun Cina Peranakan dan Pribumi, turut berkontribusi dalam
masuknya pengaruh bacaan Eropa dalam kesusastraan Melayu-Indonesia pada
masa itu. Salah satunya adalah masuknya genre cerpen, seperti yang telah
disinggung di atas.
Pengaruh gerakan kesusastraan di Belanda sekitar tahun 1880, yang dikenal dengan de Tachtigers
atau Angkatan 1880, pada pengarang Pujangga Baru merupakan salah satu
faktor yang memudahkan masuknya pengaruh karya sastra Eropa dalam
kesusastraan Indonesia modern (Teeuw, 1980). Salah seorang penyair
Pujangga Baru Indonesia yang sangat terpengaruh dan memuja penyair
Angkatan 1880 itu adalah J.E Tatengkeng. Ia menulis sajak religiusnya
dengan mengacu gaya kepenulisan Frederik van Eeden dan Willem Kloos dari
Belanda, seperti sajaknya yang berjudul “KataMu Tuhan”. Bahkan, sebagai
wujud kekagumannya kepada penyair Angkatan 1880 tersebut, Tatengkeng
pernah menulis satu sajak yang khusus ditujukan kepada Willem Kloos
(Sunarti, 2012). Jika Tatengkeng memuja penyair Belanda, Sanusi Pane
adalah salah seorang pengarang angkatan Pujangga Baru yang mengagumi
karya sastra pujangga India, Rabidranath Tagore. Ia pernah menulis
adaptasi cerita Gitanjali ke dalam bahasa Indonesia. Merari
Siregar juga melakukan hal yang sama, yakni pernah menyadur karya sastra
Belanda ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Tjerita Si Djamin dan Si Djohan (1918). Karya itu disadur dari roman Jan Smees
karya Justus van Maurik (Teeuw,1994: 142--172). Teeuw pernah
menjelaskan dengan panjang lebar mengenai kedua roman itu dan bagaimana
cerita itu dapat disadur oleh Merari Siregar menjadi versi Indonesia
dengan latar cerita dan nama para tokohnya disesuaikan dengan kondisi di
Hindia-Belanda pada masa itu. Menurut Teeuw, pengaruh komisi bacaan
rakyat (Balai Pustaka) juga ikut menjadi andil bagi penyaduran cerita
itu.
Satu pengaruh negatif dari proses
sadur-menyadur karya asing ke dalam bahasa Indonesia ini adalah
munculnya polemik terhadap karya sastra hasil saduran itu dengan
tudingan sebagai karya plagiat. Kasus itu muncul pada novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck
(1938) karya Hamka. Sebagai pengarang yang banyak membaca karya sastra
dalam bahasa Arab, Hamka sangat mengagumi karya seorang penulis Mesir
yang bernama Mustafa Lutfi al-Manfaluthi yang hidup dari tahun
1876-1942. Penulis dari Mesir itu pernah menerbitkan sebuah novel
saduran dari Prancis yang berjudul Sous Les Tilleuls karya Jean-Baptiste Alphonse Karr yang diberinya judul dalam bahasa Arab Madjulin. Ketika novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck
mengalami cetakan yang ketujuh, seorang penulis bernama Abdullah S.P.
menulis tudingan bahwa karya Hamka menjiplak karya saduran
Al-Manfaluthi. Karya saduran Al-Manfaluthi kemudian diterjemahkan ke
dalam bahasa Melayu dengan judul Magdalena. Berapa bagian dari
karya itu setelah dibandingkan dengan karya Hamka ternyata memang
memiliki persamaan. Akan tetapi, menurut Teeuw (1980: 105), persamaan
itu dapat timbul karena penerjemahan ke dalam bahasa Melayu dan jelas
karya Hamka memiliki isi yang sama sekali berbeda dengan karya saduran
Al-Manfaluthi tersebut. Bahkan, ada kesan novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck merupakan semi autobiografi dari penulisnya yang berbeda sama sekali dengan akhir dari novel Madjulin yang disadur oleh Manfaluthi.
Masalah tuduhan plagiarisme juga pernah
dihadapi oleh Chairil, yakni dituduh sebagai plagiat ketika melakukan
penyaduran karya asing ke bahasa Indonesia. Hal itu disebabkan minat
Chairil yang sangat tinggi terhadap karya penyair Eropa, seperti J.
Slauerhoff (Belanda), Hendrik Marsman (Belanda), dan Rainer Maria Rilke
(Jerman), sehingga amat memengaruhi sajaknya. Sajak J. Slauerhoff yang
berjudul “Woning Looze” memengaruhi puisi Chairil Anwar yang berjudul
“Rumahku”, kemudian “Karawang-Bekasi” dituduh plagiarisme dari The Young Dead Soldier
karya Archibald Madeisch. Tudingan itu tidak dapat dibuktikan. Akan
tetapi, karena tuntutan ekonomi, tindakan plagiarisme memang pernah
dilakukan oleh Chairil pada beberapa tulisan yang lain, bukan pada sajak
Karawang-Bekasi yang autentik milik Chairil.
Pengucapan puitik Chairil dianggap memiliki nilai baru dalam struktur
dan pilihan katanya yang sama sekali berbeda dan bahkan dianggap lebih
baik dari sajak penyair Eropa, khususnya Belanda, yang disadurnya.
Pengaruh asing dalam sajak Chairil dapat juga kita temukan pada isi sajaknya, misalnya pada kata ahasveros dan sisipus,
yang menggambarkan pengetahuannya mengenai kebudayaan Eropa. Beberapa
diksi dalam sajaknya juga tidak terlepas dari pengaruh kata Belanda,
seperti baris sajaknya yang berbunyi: Hilang sonder pusaka, sonder kerabat.
Semangat individualisme yang masih asing pada masa Chairil juga menjadi
ciri pembeda sajaknya dengan pendahulunya, seperti Amir Hamzah, yang
masih kuat terikat pantun dan syair. Kedua sastrawan itu mewariskan
syair dan pantun sebagai bagian puisi lama yang banyak dipakai pada awal
kehadiran sastra Indonesia baru. Gaya itu kemudian ditinggalkan sama
sekali oleh Chairil Anwar dalam sajaknya sehingga ia dianggap sebagai
tokoh pendobrak zaman lama tersebut.
Keahlian Chairil melakukan penyaduran
sajak-sajak asing ke dalam bahasa Indonesia juga diakui oleh kritikus
sebagai karya saduran yang baik seperti yang dilakukannya pada sajak Huesca karya Rupert John Cornford dari Inggris dan pada tahun 1967 sajak yang sama diterjemahkan oleh Taslim Ali dengan judul Sajak.
Sesudah Chairil Anwar tiada, pengaruh
kesusastraan asing pada karya sastra Indonesia semakin dipertajam
melalui beberapa karya penyair Indonesia modern yang notabene mendapat
pendidikan Barat. Sapardi (1983:5) menyebutkan beberapa nama pengarang
Indonesia yang karyanya memperlihatkan pengaruh asing (sastra Barat),
seperti Pramoedya Ananta Toer, Basuki Gunawan, Iwan Simatupang, Sitor
Situmorang, Ajip Rosidi, W.S. Rendra, Mochtar Lubis, dan P. Sengodjo.
Namun, penulis lebih cenderung memberikan pilihan lain yang tidak
disinggung oleh Sapardi dalam tulisannya itu, di antaranya Subagio
Sastrowardoyo, Goenawan Mohamad, Darmanto Jatman, W.S. Rendra, dan
Sapardi Djoko Damono.
Pengaruh asing pada karya Subagio
Sastrowardoyo terlihat, antara lain, dalam esai dan sajaknya. Karyanya
itu memperlihatkan kuatnya nilai keagamaan dan kerohanian yang menjadi
argumen dasar dalam tulisannya.
Pada Goenawan Mohamad, sajaknya memperlihatkan
pergulatan untuk menjadi penyair yang hendak lepas dari nilai tradisi.
Pengaruh asing pada karyanya terlihat lebih pada tataran ide, bukan pada
bentuk. Isi sajaknya menggambarkan hubungan personal yang sangat luas
dengan tokoh dan penyair dunia sehingga kita menemukan penggalan kisah
yang menggambarkan pertemuan Goenawan dengan tokoh dunia dan tempat
asing yang disinggahinya. Namun, berbeda dengan Chairil yang menulis
puisi sebagai upaya pemberontakan terhadap bentuk dan struktur puisi
Indonesia lama, Goenawan dengan sadar memanfaatkan rima pantun dalam
sajaknya untuk memperlihatkan “pertemuan” tradisi dan budaya luar yang
dikenalnya.
Semakin modern cara berpikir seseorang,
seperti Goenawan, ternyata semakin sadar akan jati diri dan identitasnya
sebagai penyair yang tidak mungkin melepaskan diri dari akar budayanya.
Dari tangan Goenawan dilahirkan tafsiran baru atas nilai tradisi dalam
wujud sajak modern, seperti “Gatoloco”, “Pariksit”, dan
“Persetubuhan Kunthi”. Kita juga akan menemukan semangat dunia dan
kosmopolitan dalam sajaknya yang memperlihatkan kecenderungannya pada
persoalan sosial dan politik di Indonesia. Hal itu dapat kita lihat pada
sajaknya yang berjudul “Internationale” dan sajak “Permintaan Seorang
yang Tersekap di Nanking, Selama Lima Tahun” (untuk Agam Wispi). Sajak
itu disampaikan dengan semangat puitika Barat yang tidak mudah dipahami
oleh pembacanya di Indonesia.
Pernah pada satu masa, penyair W.S. Rendra,
sangat menyukai menulis sajak dalam bentuk balada. Sebagai contoh,
tulisan itu dapat kita temukan pada sajaknya yang berjudul “Bersatulah
Para Pelacur Ibukota”, “Balada Terbunuhnya Atmo Karpo”, Balada Anak
Mencari Bapa”, dan “Balada Suku Naga”. Bentuk balada atau ballade
dalam sajak Rendra tersebut memperlihatkan pengaruh kesusastraan asing,
khususnya pengaruh dari karya balada penyair Federico Garcia Lorca yang
banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 1950-an.
Pada Darmanto Jatman, pengaruh kesusastraan asing, terutama Inggris, terlihat dalam kumpulan sajaknya Bangsat.
Darmanto telah mencapai gaya pribadi sendiri, tetapi ia tidak terlepas
dari pengaruh sajak Inggris yang umumnya bercorak arif (sophisticated), cendikia (intellectual), dan jenaka (witty).
Dengan mengambil gaya pengucapan yang demikian, Darmanto telah
meninggalkan suasana romantik saja yang menjadi ciri umum persajakan
Indonesia (Sastrowardoyo, 1989:206).
Dalam sajak Sapardi, pengaruh kesusastraan
asing itu dapat dilihat bukan hanya pada struktur luar (bentuk),
melainkan juga pada isi sajaknya. Pengaruh kesusastraan asing terekam
dalam sajak awalnya yang memperlihatkan struktur haiku,
‘sajak pendek’ Jepang. Sweeney dalam percakapan langsung dengan
penulis pernah mengomentari bahwa Sapardi sesungguhnya menulis puisi
barat, tetapi menggunakan bahasa Indonesia. Sastrowardoyo (1989: 191)
melihat sajak Sapardi, terutama dalam antologi Mata Pisau,
secara keseluruhan boleh dikatakan bertolak dari pertanyaan tentang
makna dan tujuan akhir dari hidup. Pertanyaannya itu bersentuhan dengan
masalah dasar yang pernah dirumuskan oleh Paul Gauguin sewaktu melukis
di Haiti. Di sebuah kanvas yang besar—yang disangkanya akan merupakan
lukisannya yang terakhir sebelum pelukis Prancis itu berniat menghabisi
nyawanya sendiri—dibubuhkan judul berupa pertanyaan “Dari mana kita
datang? Siapakah kita? Ke mana kita pergi?” Kesadaran akan masalah hidup
yang inti itu biasanya timbul dalam kemelut, suatu situasi krisis yang
bisa dialami suatu kelompok masyarakat atau manusia orang-seorang.
Pertanyaan yang menyangkut pangkal hidup yang pernah menghantui jiwa
Gauguin itu telah melahirkan sajak Sapardi dalam Mata Pisau.
Pengaruh asing dalam karya sastra Indonesia
merupakan hasil sintesis pergaulan dan pergulatan sastrawan Indonesia
dari masa ke masa. Hal itu juga menunjukkan keluasan pengetahuan dan
minat penulis Indonesia terhadap karya sastra dunia. Pengaruh asing
dalam kesusastraan Indonesia (Melayu Nusantara) dapat terjadi berkat
adanya hubungan perdagangan, seperti yang terlihat dalam puisi
lama/tradisional Melayu karya Hamzah Fansuri hingga Amir Hamzah. Pada
masa Pujangga Baru pengaruh itu dimungkinkan terjadi melalui dunia
pendidikan Hindia Belanda yang mengenalkan karya sastra Eropa dan
Belanda khususnya. Sesudah perang kemerdekaan, pengaruh kesusastraan
asing terjadi melalui indoktrinasi ideologi komunis, seperti yang
terlihat dalam karya sastra zaman Lekra dan juga melalui pergaulan
internasional, seperti yang diperlihatkan dalam karya WS. Rendra, sajak
pendek (haiku) Sapardi, atau dalam pemikiran ajaran Kristen sebagaimana yang digambarkan oleh Darmanto Jatman dan Subagio Sastrowardoyo.
Sumber :
Braginsky, Vladimir. 2009. “Jalinan dan Khazanah Kutipan: Terjemahan dari Bahasa Parsi
dalam Kesusastraan Melayu, Khususnya yang Berkaitan dengan “Cerita-Cerita Parsi,”
hal. 59-111, dalam Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia.
(ed) Henri Chambert-Loir. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Damono, Sapardi Djoko.1983. Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan. Jakarta.
Gramedia
Djamaris, Edwar. 1983. Hikayat Nabi Mikraj, Hikayat Nur Muhammad, dan Hikayat Darma
Tasiya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Mohammad, Goenawan. 2001. Sajak-Sajak Lengkap: 1961-2001. Jakarta: Metaphor Publishing.
Sastrowardoyo, Subagio. 1989. Pengarang Modern Sebagai Manusia Perbatasan: Seberkas
Catatan Sastra. Jakarta: Balai Pustaka.
Sunarti, Sastri. 2012. “Romantisisme Puisi-Puisi Indonesia tahun 1935-1939 dalam Majalah
Pujangga Baru” Jurnal Puitika, No.1.Volume 8. Februari 2012. hal. 19-40. Padang: FIB Universitas Andalas Padang.
Suyono dkk. 2008. “Cerita Pendek Indonesia” Penelitian Tim
Subbidang Pengkajian Sastra, Badan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Nasional, Jakarta.
Teeuw. A. 1980. Sastra Baru Indonesia. Ende-Flores: Nusa Indah.
----------- 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
----------- 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya Girimukti Pasaka.
pendapat sastra dan seni dan hubunganya dengan konsep budaya dasar
kita tahu semua apa itu sastra dan apa itu seni.seni dan sastra sangat erat huunganya,keduanya saling berkaitan satu sama lainya,maka seni dan sastra merupakan satu kesatuan.
Secara etimologis kata sastra berasal dari bahasa sansekerta, dibentuk
dari akar kata sas- yang berarti mengarahkan, mengajar dan memberi
petunjuk. Akhiran –tra yang berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk..
Secara harfiah kata sastra berarti huruf, tulisan atau karangan. Kata
sastra ini kemudian diberi imbuhan su- (dari bahasa Jawa) yang berarti
baik atau indah, yakni baik isinya dan indah bahasanya. Selanjutnya,
kata susastra diberi imbuhan gabungan ke-an sehingga menjadi
kesusastraan yang berarti nilai hal atau tentang buku-buku yang baik
isinya dan indah bahasanya.
Selain pengertian istilah atau kata sastra di atas, dapat juga
dikemukakan batasan / defenisi dalam berbagai konteks pernyataan yang
berbeda satu sama lain. Kenyataan ini mengisyaratkan bahwa sastra itu
bukan hanya sekedar istilah yang menyebut fenomena yang sederhana dan
gampang. Sastra merupakan istilah yang mempunyai arti luas, meliputi
sejumlah kegiatan yang berbeda-beda. Kita dapat berbicara secara umum,
misalnya berdasarkan aktivitas manusia yang tanpa mempertimbangkan
budaya suku maupun bangsa. Sastra dipandang sebagai suatu yang
dihasilkan dan dinikmati. Orang-orang tertentu di masyarakat dapat
menghasilkan sastra. Sedang orang lain dalam jumlah yang besar menikmati
sastra itu dengan cara mendengar atau membacanya.
Batasan sastra menurut PLATO, adalah hasil peniruan atau gambaran dari
kenyataan (mimesis). Sebuah karya sastra harus merupakan peneladanan
alam semesta dan sekaligus merupakan model kenyataan. Oleh karena itu,
nilai sastra semakin rendah dan jauhdari dunia ide.
ARISTOTELES murid PLATO memberi batasan sastra sebagai kegiatan lainnya
melalui agama, ilmu pengetahuan dan filsafat. Menurut kaum formalisme
Rusia, sastra adalah sebagai gubahan bahasayang bermaterikan kata-kata
dan bersumber dari imajinasi atau emosi pengarang. Rene Welleck dan
Austin Warren, memberi defenisi bahasa dalam tiga hal :
1. Segala sesuatu yang tertulis
2. Segala sesuatu yang tertulis dan yang menjadi buku terkenal, baik dari segi isi maupun bentuk kesusastraannya
3. Sebagai karya seni yang imajinatif dengan unsur estetisnya dominan dan bermediumkan bahasa.
Dalam
bahasa Sanskerta, kata seni disebut cilpa. Sebagai kata sifat, cilpa
berarti berwarna, dan kata jadiannya su-cilpa berarti dilengkapi dengan
bentuk-bentuk yang indah atau dihiasi dengan indah. Sebagai kata benda
ia berarti pewarnaan, yang kemudian berkembang menjadi segala macam
kekriaan yang artistik. Cilpacastra yang banyak disebut-sebut dalam
pelajaran sejarah kesenian, adalah buku atau pedoman bagi para cilpin,
yaitu tukang, termasuk di dalamnya apa yang sekarang disebut seniman.
Memang dahulu belum ada pembedaan antara seniman dan tukang. Pemahaman
seni adalah yang merupakan ekspresi pribadi belum ada dan seni adalah
ekspresi keindahan masyarakat yang bersifat kolektif. Yang demikian itu
ternyata tidak hanya terdapat di India dan Indonesia saja, juga terdapat
di Barat pada masa lampau.Dalam
bahasa Latin pada abad pertengahan, ada terdapat istilah-istilah ars,
artes, dan artista. Ars adalah teknik atau craftsmanship, yaitu
ketangkasan dan kemahiran dalam mengerjakan sesuatu; adapun artes
berarti kelompok orang-orang yang memiliki ketangkasan atau kemahiran;
dan artista adalah anggota yang ada di dalam kelompok-kelompok itu. Maka
kiranya artista dapat dipersamakan dengan cilpa.Ars
inilah yang kemudian berkembang menjadi l’arte (Italia), l’art
(Perancis), elarte (Spanyol), dan art (Inggris), dan bersamaan dengan
itu isinyapun berkembangan sedikit demi sedikit kearah pengertiannya
yang sekarang. Tetapi di Eropa ada juga istilah-istilah yang lain, orang
Jerman menyebut seni dengan die Kunst dan orang Belanda dengan Kunst,
yang berasal dari akar kata yang lain walaupun dengan pengertian yang
sama. (Bahasa Jerman juga mengenal istilah die Art, yang berarti cara,
jalan, atau modus, yang juga dapat dikembalikan kepada asal mula
pengertian dan kegiatan seni, namun demikian die Kunst-lah yang diangkat
untuk istilah kegiatan itu).Dari
dulu sampai sekarang karya sastra tidak pernah pudar dan mati. Dalam
kenyataan karya sastra dapat dipakai untuk mengembangkan wawasan
berpikir bangsa. Karya sastra dapat memberikan pencerahan pada
masyarakat modern. ketangguhan yang sangat dibutuhkan dalam pembangunan.
Di satu pihak, melalui karya sastra, masyarakat dapat menyadari
masalah-masalah penting dalam diri mereka dan menyadari bahwa merekalah
yang bertanggung jawab terhadap perubahan diri mereka sendiri.Sastra
dapat memperhalus jiwa dan memberikan motivasi kepada masyarakat untuk
berpikir dan berbuat demi pengembangan dirinya dan masyarakat serta
mendorong munculnya kepedulian, keterbukaan, dan partisipasi masyarakat
dalam pembangunan. Sastra mendorong orang untuk menerapkan moral yang
baik dan luhur dalam kehidupan dan menyadarkan manusia akan tugas dan
kewajibannya sebagai makhluk Tuhan, makhluk sosial dan memiliki
kepribadian yang luhur.Selain
melestarikan nilai-nilai peradaban bangsa juga mendorong penciptaan
masyarakat modern yang beradab (masyarakat madani) dan memanusiakan
manusia dan dapat memperkenalkan nilai-nilai kemanusiaan yang universal,
melatih kecerdasan emosional, dan mempertajam penalaran seseorang.Sastra
tidak hanya melembutkan hati tapi juga menumbuhkan rasa cinta kasih
kita kepada sesama dan kepada sang pencipta. Dengan sastra manusia dapat
mengungkapkan perasaan terhadap sesuatu jauh lebih indah dan mempesona.
Masalah
sastra dan seni sangat erat hubungannya dengan ilmu budaya dasar,
karena materi – materi yang diulas oleh ilmu budaya dasar ada yang
berkaitan dengan sastra dan seni.Budaya Indonesia sanagat menunjukkan
adanya sastra dan seni didalamnya.Latar belakang IBD dalam konteks budaya, negara dan masyarakat Indonesia berkaitan dengan masalah sebagai berikut :1.
kenyataan bahwa bangsa indonesia berdiri atas suku bangsa dengan segala
keanekaragaman budaya yg tercemin dalam berbagai aspek kebudayaannya,
yg biasanya tidak lepas dari ikatan2 primordial, kesukaan, dan
kedaerahan .2.
Proses pembangunan yg sedang berlangsung dan terus menerus menimbulkan
dampak positif dan negatif berupa terjadinya perubahan dan pergeseran
sistem nilai budaya sehingga dengan sendirinya mental manusiapun terkena
pengaruhnya .3.
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menimbulkan perubahan kondisi
kehidupan mausia, menimbulkan konflik dengan tata nilai budayanya,
sehingga manusia bingung sendiri terhadap kemajuan yg telah
diciptakannya .